Sapu Lidi di Tepi Surau

Sapu Lidi


Di sebuah desa kecil berhawa sejuk di pinggir Danau Singkarak, berdiri sebuah surau tua yang sudah ada sejak zaman kakek buyut. Surau itu bukan megah, tak berhias marmer atau lampu gantung. Tapi di sana, setiap pagi sebelum azan subuh berkumandang, terdengar suara halus—sapuan lidi menyapu lantai batu.

Itu suara Pak Salim, lelaki renta berusia 78 tahun yang selalu datang lebih dulu sebelum siapa pun. Ia menyapu halaman, mengepel lantai, bahkan mengganti sajadah jika ada yang kotor. Tak ada yang menyuruhnya. Tak ada yang menggaji. Tak ada juga yang benar-benar tahu kenapa ia begitu setia.

Anak-anak muda semula tak peduli. Mereka bahkan suka menggodanya. “Pak, mau masuk surga sendirian ya?” tawa mereka meledak. Pak Salim hanya tersenyum, menyapu terus tanpa menoleh.

Beberapa ibu sempat curiga. “Jangan-jangan dia ngambil uang infak?” Tapi uang infak tetap utuh. Bahkan kadang justru bertambah karena diam-diam Pak Salim ikut mengisi.

Sampai suatu hari, Pak Salim jatuh pingsan di halaman surau. Warga pun bergegas membantunya dan mengantarnya ke rumah sakit. Saat itu, barulah terungkap cerita yang membuat banyak orang terdiam.

Di ruang perawatan, dengan napas yang tersengal, Pak Salim bercerita:

“Dulu... saya ini orang keras. Mabuk, judi, tak pernah salat. Istri saya sabar luar biasa, tak pernah tinggalkan saya. Sampai dia sakit dan meninggal... dengan satu permintaan terakhir: Kalau kau tak bisa jadi suami baik saat aku hidup, jadilah lelaki baik saat aku mati.

Sejak itulah saya mulai menyapu surau. Setiap hari. Tanpa henti. Karena saya ingin istri saya bahagia melihat saya berubah. Walau dia tak bisa melihat lagi dengan mata, saya yakin... doanya masih hidup."

Keesokan harinya, halaman surau dipenuhi orang-orang yang tak pernah datang di pagi hari. Mereka membawa sapu, kain pel, ember. Para pemuda minta maaf, para ibu menangis pelan. Dan sejak itu, halaman surau tak pernah sepi dari yang menyapu—karena kebaikan yang dilakukan dengan diam-diam, kadang justru bersuara paling keras.


Hikmah:
Kebaikan tak butuh panggung, tak perlu sorotan. Kadang, ia cukup disapu pelan-pelan... seperti lantai surau, setiap pagi, oleh seseorang yang belajar menebus dosa dengan diam.


Catatan:
Cerita ini adalah fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata seorang pria di Pakistan bernama Abdul Malik, yang selama lebih dari 30 tahun membersihkan masjid setiap hari tanpa upah, hanya karena niat ibadah dan cinta pada rumah Allah.



Bani, Agus, dan Rencana Licik Dino

Bani, Agus, dan Rencana Licik Dino

Di sebuah sekolah dasar yang ramai dan penuh warna, ada dua sepupu bernama Bani dan Agus. Mereka duduk di kelas yang sama. Bani orangnya ramah, senyumannya gampang bikin suasana jadi hangat. Sedangkan Agus, pendiam. Lebih suka duduk diam sambil menggambar robot di bukunya.

Walau beda sifat, mereka akur banget. Tapi... segalanya mulai berubah sejak munculnya Dino.

Dino adalah anak yang suka cari perhatian. Dia membuat geng bernama The Mighty. Tujuannya? Nggak jelas. Kadang buat pamer, kadang buat nakalin teman. Dino merasa keren kalau punya anak buah.

Tapi Dino mulai risih sama Bani dan Agus. Kenapa? Karena dua sepupu itu bertubuh besar, kuat, dan... nggak mau gabung gengnya. Dino takut, suatu hari mereka bisa menyaingi kekuatannya. Maka, ia menyusun rencana.

Suatu siang, saat jam istirahat, salah satu anak buah Dino—anak kurus kerempeng dengan rambut awut-awutan—mengganggu Agus.

“Hei, kamu jelek! Jangan duduk di sini! Ini tempat Bani!” katanya sambil nyengir mengejek.

Agus langsung naik darah. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"BANI!!" teriaknya sambil mencari sepupunya di lapangan.

Bani kaget waktu Agus menudingnya.

“Kamu nyuruh temen kamu ya ganggu aku?” bentak Agus.

“Apa?! Nggak! Aku bahkan nggak tahu siapa yang ganggu kamu!” jawab Bani dengan bingung.

Agus nggak percaya. Mereka saling melotot. Tangan mengepal. Situasi nyaris meledak kayak balon ditiup terus-terusan.

Untungnya, muncul Vina. Teman mereka yang pinter dan selalu bawa cemilan.

“Stop dulu! Daripada ribut, kenapa nggak cari tahu siapa sebenarnya yang ganggu Agus?” katanya sambil mengunyah keripik.

Bani dan Agus terdiam.

"Ya juga ya..."

Akhirnya mereka berdua mulai mencari anak yang mengganggu Agus. Tak butuh waktu lama, anak kurus itu akhirnya mereka temukan lagi di dekat kantin, sedang makan gorengan sambil ketawa-ketiwi.

Bani dan Agus mendekatinya.

“Kamu yang ganggu Agus tadi, kan?” tanya Bani.

“Siapa suruh kamu ngomong kayak gitu?” tanya Agus tegas.

Anak itu langsung pucat. Gorengan di tangannya hampir jatuh.

“Maaf! Aku disuruh Dino... dia bilang biar kalian ribut terus dia bisa... eh... ya gitu deh…”

Bani dan Agus saling pandang. Lalu mereka mengangguk.

Ternyata masalahnya bukan di antara mereka. Tapi di Dino yang iri dan takut.

Sejak saat itu, Bani dan Agus makin kompak. Mereka belajar satu hal penting: Jangan cepat percaya sebelum tahu kebenarannya.

Dan Dino?

Ia kena teguran guru dan harus membersihkan taman sekolah seminggu penuh. The Mighty pun bubar dengan sendirinya.

Pesan moral:

"Jangan mudah terprovokasi. Cari kebenaran dulu sebelum menyalahkan orang lain. Persahabatan itu lebih kuat dari tipu daya."


Fany dan Uang yang Hilang - Cerita Pendek Anak

 

Fany dan Uang yang Hilang - Cerita Pendek Anak

Di sebuah sekolah dasar yang ceria, ada seorang siswi bernama Fany. Ia dikenal anak-anak lain sebagai gadis yang sederhana. Fany berasal dari keluarga yang tidak mampu. Setiap hari, ia hanya sarapan di rumah dan tidak pernah membawa uang jajan. Karena itu, beberapa teman suka mengejeknya. Tapi Fany tidak pernah membalas. Ia hanya tersenyum dan tetap bersikap baik.

Suatu hari, saat jam istirahat, semua anak keluar kelas. Ada yang bermain ke taman, ada juga yang langsung menyerbu kantin. Fany tetap di kelas, seperti biasanya.

Ketika hendak keluar menuju taman untuk duduk-duduk, Fany melihat selembar uang Rp20.000 tergeletak di lantai, tepat di depan pintu kelas.

"Wah... ini uang siapa, ya?" gumamnya pelan.

Alih-alih menyimpannya diam-diam, Fany langsung berjalan ke ruang guru dan melaporkannya.

"Pak Guru, saya menemukan uang di depan kelas. Ini bukan milik saya," katanya sambil menyerahkan uang itu.

Pak Guru pun tersenyum. "Terima kasih, Fany. Kamu anak yang jujur."

Setelah istirahat usai, Pak Guru mengumumkan di depan kelas.

"Anak-anak, Fany menemukan uang Rp20.000. Siapa pun yang merasa kehilangan, silakan acungkan tangan."

Tiga tangan terangkat: Bimo, Desi, dan Dani.

Pak Guru memanggil mereka untuk bertemu seusai pelajaran.

Sore harinya, di ruang guru...

Pak Guru bertanya, "Bimo, berapa uangmu yang hilang?"

"Rp5.000, Pak," jawab Bimo mantap.

"Desi?"

"Rp20.000, Pak."

"Dani?"

"Eee... saya... Rp15.000, Pak," jawab Dani agak gugup.

"Lalu, kalian kehilangannya di mana?"

Bimo menjawab, "Di taman, Pak."

Desi menjawab, "Tadi pagi uangku masih di tas. Tapi pas mau jajan, uangnya hilang. Mungkin hilang di kelas."

Dani bingung. "Aku juga... eh, di taman, Pak."

Pak Guru berpikir sejenak, lalu menyerahkan uang itu pada Desi.

"Ini uangmu, Desi. Lain kali hati-hati, ya."

Lalu beliau menoleh ke Bimo. "Bimo, uang yang kamu hilangkan beda jumlahnya dan tempat kehilangannya juga beda. Kamu harus hati-hati."

Dan kepada Dani, Pak Guru berkata dengan lembut tapi tegas, "Dani, kejujuran itu penting. Jangan mengaku-ngaku kalau bukan milikmu. Bohong bisa membuatmu mendapat masalah, lho."

Dani menunduk malu.

Keesokan harinya, jam istirahat pun tiba. Fany, seperti biasa, duduk sendiri di kelas sambil menggambar.

Tiba-tiba, Desi muncul di depan pintu.

"Fany, yuk main di taman bareng aku!" ajaknya ceria.

Fany kaget. "Eh? Sama aku?"

"Iya dong! Aku bawa bekal, kita makan bareng ya. Kamu anak yang baik dan jujur. Aku mau temenan sama kamu!"

Wajah Fany pun berbinar. Ia tersenyum lebar dan mengangguk.

Akhirnya, Fany dan Desi pun bersahabat. Mereka bermain bersama, tertawa, dan berbagi bekal. Hari-hari Fany yang dulu sepi, kini jadi lebih berwarna.

Pesan Moral:

Kejujuran adalah harta yang tak ternilai. Meskipun sederhana, kebaikan hati bisa membuat kita dihargai dan disayangi oleh orang lain.


Payung di Bawah Pohon Mangga

 

Payung di Bawah Pohon Mangga

Hari itu, di desa Karangjati, hujan turun sejak subuh. Bukan gerimis manja, tapi hujan deras yang membuat genting bocor seperti air terjun mini. 

Saat hujan mulai mereda, seorang anak perempuan bernama Intan duduk sendirian di bawah pohon mangga besar dekat warung Mak Ipah. Di tangannya, sebuah payung rusak ia peluk seperti boneka.

Dia bukan sedang menunggu jemputan, bukan pula berteduh dari hujan. Dia sedang menunggu waktu.

Beberapa pedagang pasar yang lewat bertanya,
“Ngapain, Neng, duduk di situ?”
“Lagi jagain tempat, Bu,” jawabnya pendek.

Ternyata, setiap pagi sejak sebulan terakhir, Intan duduk di sana demi bisa meminjam jaringan WiFi dari warung kopi tua di seberang jalan—warung yang nyalain WiFi-nya cuma dari jam tujuh sampai sembilan pagi.

Intan butuh sinyal itu untuk mengerjakan tugas daring dari sekolah. Ibunya jual gorengan, ayahnya sudah lama menghilang entah ke mana. HP-nya pinjaman dari tetangganya yang baik hati, tapi jaringan di rumahnya sering hilang-timbul kayak mantan PHP.

Satu pagi, Pak Herman—kepala dusun—melintas dan melihat Intan menggigil sambil mencatat sesuatu di buku tulis yang sedikit basah.

“Ngapain di sini, Dek?”
“Belajar, Pak. Nggak bisa konek di rumah.”
“Kenapa nggak bilang ke guru?”
“Takut disangka malas, Pak. Intan nggak mau dimarahin.”

Pak Herman terdiam. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia jalan ke arah warung kopi, ngobrol sebentar dengan pemiliknya, dan esok harinya... sebuah kabar menyebar ke seluruh desa:

“Internet Gratis di Balai Dusun, untuk Semua Anak Sekolah.”

Bukan hanya itu. Dari hasil patungan warga, dibelikan modem WiFi baru, tikar untuk lesehan, bahkan camilan ringan setiap pagi. Anak-anak dari seluruh desa mulai belajar bersama di sana. Intan tak lagi duduk basah kuyup di bawah pohon mangga, tapi menjadi inspirasi bagi satu dusun untuk peduli.

“Bisa jadi, satu anak kecil dengan payung bolong mengubah seluruh desa,” kata Mak Ipah bangga.

Catatan:
Cerita ini adalah cerita fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata.
Kisah nyatanya datang dari berbagai daerah di Indonesia saat pandemi, di mana banyak anak-anak harus belajar daring namun tidak punya fasilitas internet. Salah satu kisah viral adalah tentang seorang anak perempuan di Makassar yang duduk berjam-jam di depan minimarket hanya demi menangkap sinyal WiFi untuk mengerjakan tugas. Kisah ini memicu banyak inisiatif dari masyarakat untuk membuat "posko belajar" atau "WiFi gratis" untuk pelajar di pelosok.

Fitnah Rasa Rempah

 

Fitnah Rasa Rempah

Bagian 1: Latar Belakang

Di sebuah kota kecil yang ramai oleh aroma wajan dan suara centang-centing sendok di piring, berdirilah sebuah rumah makan bernama "Sambal Lupa Diri", milik Pak Marwan. Dulu, warungnya selalu ramai. Sambalnya pedas, nasinya pulen, dan ayam gorengnya bikin orang lupa pulang.

Namun seiring waktu, makin banyak pesaing bermunculan. Ada "Ayam Gacor", "Nasi Pedas Nyai", sampai "Warung Syahdu"—yang selain makan bisa karaoke.

Pak Marwan mulai cemas.

"Kalau pelanggan terus lari, saya bisa balik jualan pulsa, Wan," gumamnya sambil menatap meja kosong.

"Atau buka jasa curhat berbayar," sahut asistennya, Darto, setengah bercanda.

"Lebih baik kita bikin mereka bangkrut duluan!" seru Marwan dengan mata menyala-nyala.
Dan dari situlah semua dimulai.

Sepatu Tua untuk Bintang Kecil

Sepatu Tua untuk Bintang Kecil


Langit pagi di Lembah Baliem belum sepenuhnya terang, tapi Yoseph sudah melompat dari tempat tidurnya yang terbuat dari tikar pandan. Ia menyambar baju seragamnya yang sudah mulai pudar warnanya, menepuk-nepuk debu dari celana, lalu berlari keluar—tanpa alas kaki seperti biasa.

“Yos, sandalnya mana?” teriak mama dari dapur, sambil mengaduk bubur ubi.

“Udah rusak, Ma! Gak papa, kaki Yoseph kuat!” jawabnya sambil nyengir, walau sebenarnya jempol kakinya masih bengkak dari perjalanan kemarin.

Setiap hari, Yoseph menempuh 7 kilometer jalan berbatu dan berlumpur menuju sekolah. Ia tak pernah mengeluh. Bahkan ketika teman-temannya menertawakannya karena kaki dekil dan kuku kotor, Yoseph hanya tertawa balik, “Yang penting otak bersih!”

Suatu pagi, guru olahraga mengumumkan lomba lari antar kecamatan. Hadiahnya: sepatu olahraga asli.

Reaksi berantai

 

Reaksi berantai

Suatu ketika ada seorang pengusaha kaya yang sedang bersiap berangkat kerja. 

Saat sedang menuju mobilnya, seekor anjing liar  tiba-tiba keluar dari kolong mobil dan menggigit kaki pengusaha tersebut.  

Pengusaha itu sangat kesal dan melempari anjing itu dengan batu namun meleset.  Anjing itu dengan cepat kabur dari tempat kejadian.

Sapu Lidi di Tepi Surau

Di sebuah desa kecil berhawa sejuk di pinggir Danau Singkarak, berdiri sebuah surau tua yang sudah ada sejak zaman kakek buyut. Surau itu b...