Di Desa Kemiren, Banyuwangi, aroma kopi hitam dan tembakau sering bercampur dengan sunyi. Di tengah senyap itulah, tiap sore, seorang lelaki tua berjalan perlahan ke kantor pos, membawa sepucuk surat dengan tulisan tangan yang sudah mulai gemetar.
Namanya: Mbah Darto.
Tujuan suratnya selalu sama:
Untuk Sartini, Kekasihku di Sana.
Awalnya orang-orang tak ambil pusing. Tapi setelah setahun berlalu dan ia tak pernah absen mengirimkan surat, bisik-bisik mulai terdengar. Ada yang bilang Mbah Darto tak bisa menerima kenyataan. Ada pula yang menyebutnya romantis. Namun mayoritas... tak peduli.
Sampai suatu hari, kantor pos kehabisan prangko. Petugas muda bernama Lala meminta izin membuka surat Mbah Darto, sekadar untuk mencatat nama penerima.
Tangannya gemetar saat membaca isinya:
"Tin, hari ini aku mencoba belajar memasak sayur asem. Gagal total. Tapi aku ingat kamu selalu bilang: ‘Yang penting niatnya, toh?’ Aku jadi tertawa sendiri. Kadang aku berpura-pura kamu masih di dapur, sibuk nyapu sambil nyanyi. Hidup tanpamu seperti teh tanpa gula: tetap hangat, tapi hambar. Tapi aku tetap bertahan, karena aku percaya kamu menunggu aku dalam doa yang panjang."
Lala membacanya sekali lagi. Kali ini pelan-pelan. Lalu tanpa sadar, air matanya jatuh.
Keesokan harinya, ia meminta izin pada Mbah Darto untuk membacakan surat-surat itu di halaman balai desa setiap sore. “Biar banyak orang belajar mencintai dengan tulus,” katanya.
Awalnya hanya dua-tiga orang datang. Tapi dalam sebulan, puluhan warga duduk diam mendengarkan surat-surat cinta yang tak minta dibalas.
Beberapa remaja mulai menulis surat untuk orang tuanya. Ibu-ibu kembali saling menyapa suaminya dengan lembut. Seolah, surat-surat Mbah Darto membuka kembali pintu kasih sayang yang sempat tertutup karena sibuk dan gengsi.
Dan ketika Mbah Darto akhirnya berpulang dalam tidur senyapnya, surat terakhir yang ditemukan di sakunya hanya berisi satu kalimat:
“Tin, aku sebentar lagi pulang. Siapkan teh hangat ya, aku kangen.”
Catatan:
Cerita ini adalah fiksi yang diadaptasi dari kisah nyata.
Kisah aslinya berasal dari Jepang, tentang seorang pria lansia yang terus menulis surat untuk mendiang istrinya, menunjukkan bahwa cinta sejati tak harus saling bertatap mata. Kisah itu menginspirasi banyak orang di seluruh dunia untuk menyampaikan perasaan meski tak ada balasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar