Sepatu Kecil di Etalase Waktu


Di sudut toko barang bekas di Pasar Gede Solo, sepasang sepatu bayi warna biru langit tergeletak manis di balik kaca etalase. Masih bersih. Masih rapi. Masih harum lem pabrik.

Di sampingnya, selembar kertas kecil tertempel:

"Dijual: Sepatu Bayi, Belum Pernah Dipakai."

Orang-orang lewat. Menoleh sekilas. Beberapa tersenyum, sebagian hanya berjalan tanpa peduli. Tapi tak satu pun yang tahu, sepatu itu membawa beban yang tak terlihat.

Dua bulan lalu, Dimas dan Lestari berdiri di toko bayi dengan mata berbinar. Mereka memilih sepatu itu dengan tangan gemetar, mata berbinar, hati penuh harapan. "Buat anak kita nanti," kata Dimas sambil mencium kening istrinya. Mereka pulang membawa sepatu itu dan menggantungnya di dekat ranjang kecil yang belum sempat dipakai.

Namun, tak semua harapan lahir lengkap.

Anak mereka pergi bahkan sebelum sempat menghirup udara dunia.

Hari itu, langit seperti ikut berkabung. Rumah sakit sunyi. Dan di pelukan Lestari, hanya ada keheningan yang terlalu berat untuk diucap.

Berhari-hari rumah mereka diam. Ranjang bayi tetap kosong. Dinding tetap biru pastel. Dan sepatu kecil itu… masih tergantung di tempatnya, seperti menunggu kaki mungil yang tak pernah datang.

Suatu sore, Lestari membuka kotaknya. Menatap sepatu itu lama. Lalu berkata pelan, “Sepatu ini terlalu penuh harapan. Mungkin... saatnya kita melepaskannya.”

Dan itulah sebabnya, sepatu itu kini ada di balik kaca toko bekas, diam-diam menyimpan cerita kehilangan yang tak bisa dijual bersama harganya.


Hikmah:
Kadang, kehilangan yang paling besar tak meninggalkan jejak apa pun—hanya ruang kosong di hati dan benda kecil yang terlalu penuh makna.


Ingin dibuatkan ilustrasi juga untuk cerita ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sepatu Kecil di Etalase Waktu

Di sudut toko barang bekas di Pasar Gede Solo, sepasang sepatu bayi warna biru langit tergeletak manis di balik kaca etalase. Masih bersih....